Sabtu, 29 Maret 2014

Sajak - Sajak

Kutu, Daging, dan Darahmu

si, pada rambutmu kutu bersekutu, antara memilih daging
atau darahmu, dia memilih keduanya, dia gigit dagingmu,
dia hisap darahmu, serupa dihisapnya cekung matamu
oleh waktu karangsadah ini.

kau garut kepalamu yang gatal, rambutmu putus-putus
di ujung jemari tangan yang bau kentang busuk yang tak laku
di jual di pasar muaro paneh. kutu menyelinap ke rambutmu
yang paling rimbun.

kau memang memiliki jemari yang pandai memilah,
serupa memilah mana kentang busuk dan mana kentang layu,
kau pilah antara kutu dan rambut rimbun itu, kau pilah
hidupmu, sama-sama terhempas keduanya.

di ujung kuku kau bunuh kutu sehabis kau luruhkan dari kepala,
darah berceceran di punggung kuku, kau telah sukses
jadi pembunuh alim, seperti membunuh cita-citamu sehabis uang
penjualan kentang itu kau bayarkan buat hutang racun
dan pupuk di kedai ali jijin.

(2013)



Daun Pisang dan Tusuk Sate

dicabut diriku dari si batang pisang yang membunuh
dirinya untuk melahirkan anak. aku daun yang disayat
tajam mata pisau. padaku potongan menjadi mata uang
si tukang sate piaman itu.

kau si belahan bambu, juga dibuat dari rautan si mata pisau.
tubuhmu luka tanpa darah, sebab ngilu bersembunyi
dalam tubuh. dari ujung ke ujung dibuat untuk membunuh.
yang kau bunuh kulit daunku.

pada piring plastik sate itu kita bertemu, masing-masing
membawa air mata. kulitku kau kupasi. kau tusuk perut
dan jantungku. padaku luka juga tak berdarah, ngilu masuk
ke tubuh. aku terkapar kau terkapar.

dan di kotak sampah itu kau dan kau dibuang si tukang sate.
“sudah tak berguna,” katanya. kau tahu itu.

(2013)



Tamu yang Datang Sehabis Subuh

kau datang kepadaku membawa bunga markisa, katamu itu bunga
dari karangsadah, dipetik dari hutan tanahkuning, tepat di hari jumat.
kau letakkan di atas meja kayu, biarkan dia tumbuh di kayu ini,
berakar ke atas marmer, menjalar ke dinding batu, berbuah di gipsum.

katamu kau datang dari sebongkah tanah karangsadah, tumbuh
di bawah lantai rumah, tepat di subuh hari, tapi katamu juga tepat
saat azan magrib pertama. apakah subuh dan senja dua wajah
yang berkerinduan sebab pertemuan suatu hal mustahil.

kau tanam bunga di atas meja, kau letakkan dalam pot kaca,
kau siram, kau hidupkan air conditioner, biar dingin ruangan ini,
biar semerbak harum markisa ini. satu air matamu jatuh, kau
teteskan dalam pot kaca, air matamu itu jatuh ke urat markisa.

tanpa kuminta kau memilih memegang gagang pintu, menutupnya,
menguncinya dari luar, kau kurung aku di dalam. katamu samar
dari balik kayu pintu yang tak berakar dan tak berdaun itu,
“tanam markisa itu di dagingmu.”

(2013)



Sungai Durian

:untuk dusun yang ditinggalkan namanya, kenang-
kenanglah puisi ini.

aku pecahan yang dipisahkan dari kaca jendela, gelas, piring,
mangkuk. kutampung rasa sakit pada setiap derai itu, luka
terkuak, perawanku terkuak, sakit berjalin ke jantung ini.

kau jalinan pasir dan batu, berpilin tanah liat padamu, siapa
mulai memperkosa tubuh masing-masing, siapa mulai menjadi
si angkuh mengkebiri keberadaan masing-masing.
padaku jua saksi itu.

aku ditancap padamu, separuh tubuh pada gelap ruang,
separuh tubuhku pada langit kebebasan, tetapi tetap jua
bebas tak sudah, gelap tak lengkap. biarlah jelas wujud ini,
di sekeliling kita orang kakinya ditumbuhi besi,
usia mengerucut ke pangkal besi itu.

(2013)



Karangsadah dan Kota

di batu karangsadah ini, aku bangun sebuah kota, aku dirikan
gedung, sekolah, kampus, masjid, pura, gereja, temple, lapangan
olahraga, galeri, pustaka, museum. luasnya tak lebih sebentangan
telapak tangan, sempitnya tak kurang segala yang di luar
telapak tangan.

di koridor sebuah rumah di pusat kota, di bibir kanan jendela,
menghadap ke matahari tenggelam, aku tumbuhkan setangkai
bunga markisa dalam pot kaca, berbuah manis pada tiap tampuknya.

di titik kelopak sari, aku terbangkan ribuan kumbang, seekor
kumbang berwarna putih sekaligus jugah hitam, menghisap
nektar sampai ke pangkal, di nektar itu aku titipkan rasa sakit
palu, paku, pahat, membangun kota ini, membangun dirimu
sayang. semoga kau ingat itu.

(2013)



Salung Api

ditiup api itu terbakar tubuhku,
panas padaku, luka pada bara,
adakah yang lebih menyakitkan
daripada membakar tubuh sendiri.

aku si badan buluh dipakai dan dikebiri
di ruang tungku, bara pada ujungku,
merah dan gosong,
hangus ujungku.

ditiup api itu, mengumbar, merah saga,
habis lumat tubuhku,
mengamuk si buta peniup salung api,
habis sudah jadi abu tubuhku.

(2012)



Sepelah dan Paraku

kau tahu aku si pelari di sekeliling kilangan tebu, memanjat punggung
sapi, mengeliling lingkaran kecil itu, seperti lingkaran hidupku.
aku berputar sangat lambat, tapi detik berputar begitu cepat. tebu
telah menjadi sepelah, tinggal dibuang dalam api di ruang tungku,
dan air tebu tertampung di paraku, lubang kecil yang mengurung
sorot matamu.

kau si pendiam, aku sangat suka dengan lugumu, dan lagumu
tentang acuan betung dan lingkaran yang menampung dirimu itu,
seolah-olah hanya aku dan kau yang suka bermain di lingkaran kecil itu.
kita tanam gula yang tumbuhkan rasa haus tak terbantahkan,
tentang gula kecil yang kita sediakan, buru-buru kita habiskan
sambil berjuntai di kilangan.

tiba-tiba putaran kini sebaliknya, putaran kilangan itu begitu cepat,
tapi detik berputar begitu lambat untuk sampai di punggung sapi,
di punggung sapi aku bertanya kepadamu, kenapa sepelah dibuang?
tapi kau menjawab, air tebu juga dibuang dari paraku
yang menampungnya.

(2012)



Darah Nyamuk di Jari Manis

seekor nyamuk yang menggigit jari manismu,
telah usai kau bunuh. bekas darahnya kental di antara
batu cincin biduri bulan dan garis telapak tanganmu,
tempat nasib bernaung yang kau keragukan.
lampu teplok di atas meja setiap sebentar ditiup angin
dari lubang dinding, mungkin angin di luar sana
di ladang kentang jauh lebih gigil.

kau berdehem dan berujar, bibir bergerak mantap,
“ini komedi putar yang amat menarik,
nenek kita petani, ibu kita petani, kita petani, hidup
segitu-gitu saja.” tentu saja kau tidak membicarakan
nasib bangkai nyamuk yang baru saja kau buang
ke dalam api. aku pun tidak ingin peduli dengan bau hangus
yang bodoh itu.

“gubahanmu gubahan lagu lama yang tak perlu
kau ulang kepadaku, kita harus melihat dari ujung
mungkin jalan yang belum bertemu pangkalnya.”

bangkai nyamuk itu telah habis, dan batu cincinmu
telah berdarah di lingkaran daging, angin dari luar
masuk ke tulang, mungkin benar katamu,
hidup segitu-gitu saja, tapi aku tidak percaya
jalan dari ujung hidupku tidak berujung.

(2013)



Sehelai Benang Penjahit


apa pendapatmu tentang tubuhku yang sehelai,
tentang hasil karya yang dibentuk dari luka,
dimakan mata penjahit untuk menanggung duka
di tepi celanamu yang robek,
masuk lubang sempit keluar lubang sempit,
tubuhku yang membetulkan serabutan benang
celana tak terurus itu, tubuhku pula mengizinkan
dagingmu menodai benang celana.

ya, aku si pengembara dari kisah ke kisah
lubang mata penjahit, segala duka benang celana
telah aku saksikan pada tubuhku,
dari celah ke celah hanya rasa sakit.

(rumahkayu, 2013)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger