Sabtu, 29 Maret 2014

Gadis Pesisir Melayu, dan Sebuah Doa Yang Disamarkan

Puisi adalah salah satu genre sastra yang memiliki cara ungkap yang amat kaya. Seorang penyair bebas menggunakan metafora sebagai media ungkapnya. Menggunakan kata-kata yang bukan makna sebenarnya. Misalnya dengan melukiskan sesuatu berdasarkan persamaan atau perbandingan. Umpamanya sebuah doa dan pengharapan yang disampaikan oleh penyair dengan diksi yang dipilih secara apik, diberi ornament yang membuatnya tak lagi tampak sebagaimana laiknya sebuah doa pada umumnya. Menurut Eka Budianta, sebuah doa yang disamarkan dalam puisi, bisa membawa seseorang menjadi penyair dan dikenal dibeberapa kota. Hal ini bisa kita lihat pada buku yang berjudul Gadis Pesisir Melayu (Alif Gemilang Pressindo, 2013), ditulis oleh Sujud Arismana, yang merupakan sekumpulan puisi dengan gaya bahasa merapal sebuah doa.

Jika ditilik tema yang diangkat, secara umum puisi yang ditulis Sujud Arismana dalam buku setebal 164 halaman ini merupakan kumpulan puisi religi. Di dalamnya bercerita tentang hubungan seorang hamba kepada sang Khalik. Dedy Try Riyadi dalam endorsementnya di kaver buku ini bilang, bahwa lewat puisi-puisi dalam buku ini, Sujud Arismana tengah berkelasah dengan apa yang dia dengar, yang dia lihat, yang dia rasakan, yang dia harapkan. Upaya pemberontakan atau paling tidak mempertahankan hal-hal tersebut dia wujudkan dalam puisi-puisi yang dihantarkannya kepada pembaca sebagai ilusi, sebagai pemaparan, sebagai pengikat, atau paling banyak yang terlihat sebagai doa. Seperti larik pada puisi yang berjudul Bercak-bercak Dosa berikut:

aku menua
di panggung bumi
berbaring merenung diri
di ranjang hujan
yang berdzikir nyeri

(Sujud Arismana, 2013:4).

Bait-bait puisi di atas menggambarkan tentang rasa bersalah aku lirik terhadap dosa yang pernah ia lakukan, yang kemudian ia sesali dalam doanya. Pada puisi yang lain, yang berjudul Pintu Tahajud-Mu, pembaca juga menemukan bagaimana aku lirik merapal sebuah doa. Berikut petikan lariknya:

masih kubaca setetes embun
di ujung malam
mendedah air mata
dalam sekotah doa
(Sujud Arismana, 2013:6).

Hal yang sama juga terdapat pada sajak Sujud Arismana yang lain, seperti pada penggalan larik puisi yang berjudul Luka Kata:
aku adalah musafir
yang menapaki
sepenggal malam
pada sebaris waktu
yang meruap
di larik darahku

sempat kutebarkan ngilu
yang menggugurkan
sepucuk hati
membilas cabaran doa
di pahatan air mata

(Sujud Arismana, 2013:7).
  
Jika kita telisik, sejumlah puisi Sujud Arismana dalam buku ini merupakan ‘dialog’ seorang hamba kepada Tuhan, kepada Allah yang maha besar, maha pengampun, dan yang maha mengabulkan segala doa. Hal ini dikarenakan Sujud Arismana tampaknya telah memilih ‘jalan’ sebagai penulis puisi-puisi religi. Puisi religi pada umumnya lebih banyak bercerita mengenai hubungan vertikal antara seorang hamba dan Tuhannya. Namun, pada sisi lain puisi religi juga mengandung pesan-pesan yang sifatnya universal, yang berbicara tentang hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan alam, manusia dengan makhluk hidup lainnya, dan seterusnya. Dalam kaitan ini, sujud Arismana berusaha menuliskan tentang hubungan orang tua dengan anak. Sebagaimana yang tercantum dalam puisinya berjudul Selembut Tangan Emak:

masih saja burung punai
melaraskan segurih lagu pagi
memburai nyala api dimataku
yang ligat meluberkan
embun subuh-Mu

di kota kapur (Blora)
engkau melahirkanku
menyisakan suara anak-anak        mengaji
terhuyung langkahnya melewati
jembatan gantung yang hampir putus
(Sujud Arismana, 2013:103).

Pada puisi ini Sujud Arismana berbicara dengan gamblang tentang hubungan anak dengan Ibu. Dimana di dalamnya mendedahkan lebih jauh tentang harapan seorang anak untuk membahagiakan Ibu yang ia kasihi. Puisi ini tentu saja mengingatkan kita agar selalu menjaga hubungan baik dengan orang tua. Relasi yang baik antara anak dengan Ibu yang dibicarakan dalam puisi ini merupakan sebuah hubungan yang begitu dekat dengan kehidupan keseharian kita. Hal ini dapat dimaklumi karena karya sastra pada dasarnya tidak hanya sekadar dunia rekaan pengarangnya, dan tidak semata-mata hanya kumpulan peristiwa imajinatif.

Karya sastra kerap hadir sebagai cermin dari realitas sosial. Dimana di dalamnya terdapat kegelisahan pengarang terhadap permasalahan yang ada, yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat. Dengan kata lain sastra kerap lahir dari berbagai hal yang melingkari pengarangnya. Paling tidak, pada diri sastrawan yang juga tidak terlepas dari latar belakang masyarakat yang telah melahirkan dan membesarkannya. Agaknya, berangkat dari hal inilah kita bisa melihat bagaimana Sujud Arismana mendedahkan sebuah permasalahan sosial masyarakat yang terdapat disekitar tempat tinggalnya. Seperti pada salah satu puisi dalam buku ini berjudul Perambah Hutan. Berikut petikan lariknya:

…Apakah ada pesta/ ceria? Merebah sebatang untuk dihijaukan kembali/sekiranya tak senonoh memperlakukan perdu-perdu/yang menjalarkan asap dan kabut di negeri bertuahku./Kecemasan beralih maut yang sengaja mengejek raung/regang si macan Sumatera, membakar kera Kalimantan,/membinasakan gajah tangguhku. Mengapa harus/mengombang-ambingkan ketuban yang pernah/terjatuh di lubang gundukan pertiwiku/ (Sujud Arismana, 2013:120).

Puisi Perambah Hutan ini barangkali merupakan sebuah representasi dari kerisauan masyarakat kita hari ini terkait banyaknya kasus illegal logging, yang menyebabkan keberadaan hutan dan rimba beserta penghuninya kian hari kian memprihatinkan. Meskipun sebuah puisi tidak serta-merta akan mengatasi beragam permasalahan masyarakat, namun jika kita telisik, puisi ini secara lebih jauh berusaha menyampaikan sebuah amanat akan pentingnya kelestarian hutan. Habitat berbagai makhluk hidup.

Menurut Sitor Sitomorang (1984:3), puisi lahir atau tumbuh dari iklim tertentu, situasi dan kondisi budaya. Si penulis puisi berfungsi sebagai tukang cerap dan tukang olah apa  yang diperoleh dari iklim itu.  Mencerap segala rupa dan jenis kesan sesuai kepekaan budaya manusia. Menilik domisili Sujud Arismana di lembar penutup buku ini yang menetap di kota bertuah, Pekanbaru, sebuah tempat yang didominasi oleh etnis Melayu, maka tak mengherankan jika dalam beberapa puisinya yang termaktub dalam buku ini Sujud Arismana ciptakan sejumlah puisi yang bukan dari sesuatu yang tidak ada. Tetapi berangkat dari sesuatu yang benar-benar ada dan dekat dengannya. Selain tentang kerisauannya pada kasus illegal logging sebagaimana yang ia paparkan dalam puisi Perambah Hutan, ia juga berkelesah tentang kerisauannya terhadap generasi Melayu hari ini. Hal ini terlihat seperti pada larik pada puisi yang berjudul Selamba Tingkah. Berikut petikannya:

Kata sejarah negerimu berbudaya, bermarwah juga/bertuah. Mungkin terlalu melambungkan masa lalu yang/abadi, tak menghiraukan segala yang telah tertidur dan/terbelit dalam mimpi-mimpi semalam/ (Sujud Arismana, 2013:124).

Dalam puisi ini kita melihat, katakanlah, sebuah cerita tentang kejayaan sebuah puak bernama Melayu di masa lalu. Tentang sebuah romantisme keberhasilan di masa silam. Agaknya, berangkat dari cerita masa lalu itu Sujud Arismana mengajak generasi hari ini—khususnya yang lahir dari etnik Melayu, untuk membandingkan masa lalu dengan kondisi saat ini. Saya pikir, hal ini menarik untuk kita renungkan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger