Rabu, 19 Maret 2014

Negeri Tanpa Senja

Sudah lama ya, sejak waktu itu kamu menginginkan senja yang sempurna, yang ada di garis pantai yang indah itu, kita tak jumpa. Kini aku siap memberikan senja itu untukmu. Senja yang seperti itu memang ada di kampungku, sebuah pulau kecil di seberang timur Sumatera. Jika kita memandang ke arah barat, maka akan terlihatlah panorama senja yang indah itu, lengkap dengan laut berwarna keemasannya, separuh matahari terapung dari kejauhan dengan cahaya kuningnya, deburan ombak, burung-burung camar, siluet karang, dan langit yang temaram. Indah sekali. Tentu semua itu tak ada di desamu yang berada di pegunungan. Senja di tempatmu pasti berbeda, tidak seindah di tempatku ini. Makanya kamu menginginkannya bukan? Tenang Najwa, akan kuberikan kepadamu sebentar lagi. Tunggulah di sana.

Najwa yang baik!

Sesuai yang kamu pinta dulu, aku akan memberikanmu gambar senja yang paling indah yang ada di pantaiku. Aku sudah membeli kamera yang bagus untuk memotretnya. Ini bukan kamera biasa, tapi kamera yang punya kecepatan, pencahayaan, dan megapixel yang bagus. Ini kamera mahal. Lensa tele-nya saja, kata penjualnya, bisa untuk melihat kumbang di atas pokok kelapa, walaupun aku belum pernah mencobanya. Katanya lagi, kecepatannya bisa memotret kepak sayap burung kolibri, bahkan lalat. Hebat bukan? Pokoknya kamera ini bukan kamera pocket biasa. Selepas SMA bersamamu dulu, aku mulai bekerja dan uangnya sengaja kutabung untuk membeli kamera ini. Tujuanku hanya satu, yakni memotret senja dan memberikannya kepadamu, sesuai permintaanmu dulu.

Tapi Najwa, yang aku agak ragu sekarang, pemandangan senja itu seakan hanya menjadi bagian dari masa lalu di pantai kami ini. Seakan menjadi ingatan lama yang sulit sekali dikembalikan. Ah, entahlah mengapa ini terjadi pada senja di pantai kami. Sejak aku kembali ke kampungku ini, dalam beberapa bulan terakhir, senja itu entah mengapa tak ada lagi di tempatnya. Ia seakan hilang begitu saja, menguap, atau ditelan sesuatu yang entah apa. Yang aku ingat, dulu memang ada seseorang yang mencuri senja untuk diberikan kepada pacarnya.* Tapi seingatku, dia sudah mengembalikan senja yang dicurinya itu. Nah, sekarang entah siapa lagi yang mencuri senja ini.

Tiap petang kutunggu, senja itu selalu berlalu begitu saja. Ada waktu yang hilang antara siang dan malam, karena senja tidak ada di antaranya. Matahari tiba-tiba saja menghilang dari peredaran ketika petang akan menjelang. Langit tiba-tiba saja memutih, memucat, dan menyebabkan keindahannya pudar sama sekali. Jangankan kilau keemasan yang membias ke laut biru, keaslian biru langit pun tak ada lagi yang tersisa di sana. Langit telah berubah putih, dan matahari senja menghilang ditelan kegelapan yang memutih. Belum sepenuhnya gelap, tapi ia telah pudar.

Najwa, sebenarnya aku sangat heran dengan kondisi ini. Tapi aku berharap kamu tidak berkecil hati dengan kondisi senja di pantai kami yang telah menghilang ini.  Bagaimanapun aku terus menunggu keindahan senja itu, yang mungkin suatu saat nanti akan kembali. Jadi, kamu jangan khawatir ya. Ini hanya untuk sementara saja, kok. Aku sudah jauh-jauh hari mempersiapkan gambar senja terindah ini. Aku sudah mengincar gambar senja sejak berbulan-bulan lamanya. Tapi selama berbulan-bulan ini pula aku tak menemukan sunset itu. Jadi maaf, Najwa, apabila senja yang kukirimkan ini kurang begitu sempurna nantinya. Aku hanya mengira-ngira saja. Jadi kuambil saja foto senja kira-kira menjelang Magrib, walaupun di sana tak ada potongan separuh matahari di ujung laut biru yang cahayanya memerah keemasan itu. Yang ada hanya laut yang buram dan langit yang putih. Maafkan ya. Ini untuk sementara saja. Lain kali tetap akan kukirimkan senja yang indah sesuai yang kujanjikan dulu.

Najwa! Sejak dulu aku memang tak tahu dan tak pernah bertanya di mana alamatmu sebenarnya. Yang kutahu sejak dulu, kamu tinggal di sebuah desa pegunungan yang tak memiliki senja seindah senja di pantaiku. Ah, itulah kelemahanku yang tak pernah berani berkata-kata dan bertanya di depanmu. Tapi untung saja ada Wak Google yang berbaik hati memberikan alamat emailmu. Rupanya kamu itu cukup dikenal oleh Wak Google. Kamu punya blog yang bagus dan aku jadi tahu di mana alamat emailmu. Makanya bersama ini aku kirimkan foto senja yang masih buram ini ke alamat emailmu. Aku kirim di dalam lampiran. Bisa kamu buka nanti. Mudah-mudahan kamu berkenan ya!

Salam,

Simuh

Lelaki bernama Simuh itu lantas menekan tanda “kirim” di keyboard komputer di depannya. Dia tersenyum lebar tatkala tahu bahwa emailnya, lengkap dengan lampirannya berupa foto senja itu telah terkirim. Lelaki muda itu lantas mematikan komputer yang baru disewanya dari sebuah warnet di kota kecil pinggir pantai itu. Setelah membayar biaya sewa warnet, dia pun berlalu, pulang, dengan senandung kecil bernada ceria keluar dari bibirnya. Dia kemudian berjalan pelan ke arah bibir pantai, menghirup udara yang terasa agak pengap dan sedikit menyesakkan, namun dengan ekspresi yang tetap gembira. Fuih! Dia membuang napas. Senja masih saja buram, seperti beberapa waktu yang lalu, dan tak tampak kemungkinan akan berlalu keburamannya dalam waktu dekat. Tapi dia abaikan semuanya, karena keburaman alam bisa pupus dengan semringah jiwanya yang sedang berbunga.

Keesokan harinya, lelaki muda itu kembali ke warnet itu untuk mengecek emailnya. Tapi sayang, yang ditunggunya tak juga muncul. Tak ada balasan. Berkali-kali dia datang ke warnet, berkali-kali pula dia kecewa karena tak ada balasan. Sampai setelah dua pekan berlalu, di saat menjelang senja, akhirnya emailnya dibalas juga. Lelaki itu tampak semringah. Dia tersenyum lebar begitu tahu ada balasan atas emailnya. Tapi dia berubah kecut dengan cepat tatkala mulai membaca baris-baris email di layar komputer.

Simuh yang Naif,

Sejak dulu kamu memang naif, polos, lugu, dan tak pernah paham apa-apa. Kamu itu tak tahu perasaan perempuan, tak mengerti isyarat dan tanda, juga pengecut. Lengkap sudah apa yang ada padamu, yang semuanya makin menyebalkan. Sejak dulu begitu, sampai sekarang pun begitu. Kamu tak pernah berubah sama sekali dan mungkin tak akan berubah sampai kapanpun. Kamu orang yang mengecewakan dan menyebalkan.

Sebenarnya aku malas membalas emailmu, apalagi membahas senja yang kamu katakan indah itu. Yang kamu kirimkan dalam lampiran email ini sama sekali bukan senja. Entah apalah namanya, tapi ini sesuatu yang buruk, bahkan sangat buruk. Ternyata kamu itu selain naif, juga bodoh, bego, bloon. Stupid kuadrat. Apa yang kamu kirim sebenarnya kepadaku?

Simuh yang bodoh!

Kamu tahu, saat membuka lampiran email yang kamu kirimkan, tiba-tiba saja laptopku yang bagus dan mahal ini keluar asap yang sangat banyak. Sepertinya laptopku ini terbakar, atau mungkin korslet. Selain keluar asap yang pekat dan bau, rasa panas menyerang udara di sekitar kamarku yang sejuk. Udara dingin pegunungan di rumahku jadi tercemar akibat asap yang menyesakkan dan panas ini. Semuanya bermula dari kirimanmu itu. Aku yakin itu. Apakah yang sebenarnya kamu kirimkan ini? Dalam emailmu, kamu menyebutnya sebagai foto senja. Tapi kenyataannya bukan. Pasti ini adalah sesuatu yang bodoh, seperti kelakuanmu itu sejak dulu: sudah naif, penakut, tak punya keberanian, bodoh pula. Lengkaplah semuanya.

Untung saja aku segera menutup lampiran email yang kamu kirimkan itu. Jadi asap yang menggumpal dan membubung itu tak keluar semuanya. Tapi laptop mahalku jadi rusak dibuatnya. Ada bagian-bagian yang gosong saat asap itu keluar. Sungguh sesuatu yang bodoh yang kamu kirimkan. Atau jangan-jangan kamu ingin membunuhku ya? Dasar bodoh!
Simuh yang bodoh lagi naif!

Aku tak bisa mengendalikan diri atas apa yang terjadi pada laptopku karena kiriman bodohmu itu. Sebab ini adalah laptop pemberian orang spesial di hatiku. Tega-teganya kamu merusaknya dengan kiriman bodohmu itu. Entah mengapa kamu mengirimkannya kepadaku. Padahal aku tak benar-benar memintanya padamu. Bukan itu yang aku maksud waktu itu, di masa kita masih sempat bertemu. Kamu sih, terlalu naif, tidak pernah paham, dan lugu. Semuanya sekarang sudah serba terlambat. Untung saja laptopku tak rusak berat, masih bisa diperbaiki. Baru sepekan lalu aku bisa menggunakannya lagi untuk tugas-tugas kuliahku yang seabrek. Sebenarnya aku malas membalas emailmu yang tak berbobot ini. Tapi kamu harus tahu apa yang kamu kirimkan kepadaku sebelumnya. Makanya aku mengirimkan ulang lampiran yang kamu kirimkan kepadaku. Mungkin aku tak mengirimkannya dalam keadaan utuh, karena sempat ada yang keluar dari laptopku waktu kubuka. Tapi kalau kamu buka, pasti kamu tahu kenapa aku marah sekali padamu kali ini. Dan kali ini sepertinya tak termaafkan.

Satu lagi, aku ingatkan. Setelah ini jangan hubungi aku lagi! Titik!

Najwa

Lelaki itu tercekat begitu selesai membaca balasan emailnya. Dia tak menyangka balasan yang diterimanya begitu ketus dan penuh amarah. Niat baiknya mengirimkan foto senja malah berbalas ungkapan yang sangat pedas. Tapi dia juga penasaran dengan apa yang diungkapkan perempuan bernama Najwa itu. Mengapa senja yang buram itu justru menyakitkan baginya? Adakah sesuatu yang salah?

Dengan segera dia mengklik lampiran pada emailnya untuk mengetahui persis seperti apa foto senja yang sudah dikirimkannya itu dan kini dikirim ulang kepadanya. Begitu foto senja yang buram terbuka, asap pun keluar dari CPU komputer. Wusssssss! Bukan asap biasa, tapi asap yang sangat banyak, yang pekat, tebal, yang baunya sangit, yang menyesakkan nafas, dan membuat seisi warnet terbatuk-batuk. Asap itu terus menyebar dan memenuhi ruangan, menyebabkan ruangan warnet yang sempit itu dipenuhi asap seperti terbakar.

“Asap… Kebakaran!”

“Lari… Keluar semua!”

Semua orang panik dibuatnya. Mereka berteriak histeris dan berlarian keluar dari warnet. Asap terus menyeruak tanpa sempat dicegah lagi. Lelaki bernama Simuh itu tak sempat menutup lampiran emailnya, sehingga semua asap itu keluar dengan sangat banyak, bergumpal-gumpal, pekat dan terus menyeruak ke seluruh ruangan. Dia hanya tercekat di tempatnya menyaksikan asap tebal yang terus keluar. Matanya tak berkedip melihat gumpalan asap yang terus-menerus keluar dari CPU komputer itu, yang keluar seperti asap dari cerobong pabrik.

“Ayo keluar!” ujar pemilik warnet sambil menyeretnya.

Dia masih termangu dan tak percaya atas apa yang sudah terjadi. Orang-orang makin ribut dan hiruk pikuk. Lelaki itu masih diam di tempatnya. Karena tak juga bergerak, orang-orang mulai menyeret kedua tangannya. Ada juga yang mendorongnya, sehingga dia berhasil juga dikeluarkan dari ruangan yang sudah penuh asap. Asap makin menyeruak tak terkendali. Asap-asap itu juga mulai keluar ruangan dan memenuhi udara di seluruh kampung, bahkan di seluruh negeri. Asap telah benar-benar menguasai seluruh negeri, hanya dalam sekejap.

Rupanya ini yang membuat Najwa marah. Aku telah mengirimkan asap kepadanya, bukan senja. Ah, aku memang bodoh!

Lelaki bernama Simuh itu bergumam, memaki dirinya sendiri dengan rasa sesal yang mendalam. Dia berjalan ke arah pantai dan melihat laut menjelang Magrib dengan rasa gundah, setelah rasa kagetnya atas kejadian aneh itu perlahan pupus. Senja itu memang berbeda. Tak ada penampakan senja dengan matahari separuhnya yang mengapung di batas cakrawala, dengan cahaya keemasan yang membias di laut, dan deburan ombak yang indah itu. Yang ada hanya kabut putih yang kian menebal. Lelaki itu hanya tersenyum getir melihat senjanya yang berselimut asap. Dia menarik napas panjang sambil menggeleng-gelengkan kepalanya yang tidak pusing. Setidaknya dia mulai bisa menduga siapa yang mencuri senja kali ini. Dia juga kian dapat menduga, mengapa perempuan bernama Najwa itu begitu marah padanya dan barangkali tak akan memaafkan kebodohannya yang paling bodoh ini.

Lelaki itu terus berjalan pelan di arah pantai yang tak jauh dari warnet dengan langkah gontai sampai lidah ombak menyentuh kakinya, seakan menggodanya. Dia memandang jauh ke batas cakrawala dengan rasa kecewa sambil menenteng kameranya, tapi urung memotret senja yang buram itu. Dia hanya merenung lama tanpa berbuat apa-apa. Di sana, di waktu senja yang temaram itu, masih terlihat langit yang pucat dan gumpalan putih yang makin menebal. Angin senja menggodanya dengan tamparan-tamparan kecil di pipinya. Juluran lidah ombak yang menerpa kakinya dan sesekali menghempas wajahnya juga seakan terus mengejeknya tiada henti

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger