Sabtu, 29 Maret 2014

Gadis Pesisir Melayu, dan Sebuah Doa Yang Disamarkan

Puisi adalah salah satu genre sastra yang memiliki cara ungkap yang amat kaya. Seorang penyair bebas menggunakan metafora sebagai media ungkapnya. Menggunakan kata-kata yang bukan makna sebenarnya. Misalnya dengan melukiskan sesuatu berdasarkan persamaan atau perbandingan. Umpamanya sebuah doa dan pengharapan yang disampaikan oleh penyair dengan diksi yang dipilih secara apik, diberi ornament yang membuatnya tak lagi tampak sebagaimana laiknya sebuah doa pada umumnya. Menurut Eka Budianta, sebuah doa yang disamarkan dalam puisi, bisa membawa seseorang menjadi penyair dan dikenal dibeberapa kota. Hal ini bisa kita lihat pada buku yang berjudul Gadis Pesisir Melayu (Alif Gemilang Pressindo, 2013), ditulis oleh Sujud Arismana, yang merupakan sekumpulan puisi dengan gaya bahasa merapal sebuah doa.

Jika ditilik tema yang diangkat, secara umum puisi yang ditulis Sujud Arismana dalam buku setebal 164 halaman ini merupakan kumpulan puisi religi. Di dalamnya bercerita tentang hubungan seorang hamba kepada sang Khalik. Dedy Try Riyadi dalam endorsementnya di kaver buku ini bilang, bahwa lewat puisi-puisi dalam buku ini, Sujud Arismana tengah berkelasah dengan apa yang dia dengar, yang dia lihat, yang dia rasakan, yang dia harapkan. Upaya pemberontakan atau paling tidak mempertahankan hal-hal tersebut dia wujudkan dalam puisi-puisi yang dihantarkannya kepada pembaca sebagai ilusi, sebagai pemaparan, sebagai pengikat, atau paling banyak yang terlihat sebagai doa. Seperti larik pada puisi yang berjudul Bercak-bercak Dosa berikut:

aku menua
di panggung bumi
berbaring merenung diri
di ranjang hujan
yang berdzikir nyeri

(Sujud Arismana, 2013:4).

Bait-bait puisi di atas menggambarkan tentang rasa bersalah aku lirik terhadap dosa yang pernah ia lakukan, yang kemudian ia sesali dalam doanya. Pada puisi yang lain, yang berjudul Pintu Tahajud-Mu, pembaca juga menemukan bagaimana aku lirik merapal sebuah doa. Berikut petikan lariknya:

masih kubaca setetes embun
di ujung malam
mendedah air mata
dalam sekotah doa
(Sujud Arismana, 2013:6).

Hal yang sama juga terdapat pada sajak Sujud Arismana yang lain, seperti pada penggalan larik puisi yang berjudul Luka Kata:
aku adalah musafir
yang menapaki
sepenggal malam
pada sebaris waktu
yang meruap
di larik darahku

sempat kutebarkan ngilu
yang menggugurkan
sepucuk hati
membilas cabaran doa
di pahatan air mata

(Sujud Arismana, 2013:7).
  
Jika kita telisik, sejumlah puisi Sujud Arismana dalam buku ini merupakan ‘dialog’ seorang hamba kepada Tuhan, kepada Allah yang maha besar, maha pengampun, dan yang maha mengabulkan segala doa. Hal ini dikarenakan Sujud Arismana tampaknya telah memilih ‘jalan’ sebagai penulis puisi-puisi religi. Puisi religi pada umumnya lebih banyak bercerita mengenai hubungan vertikal antara seorang hamba dan Tuhannya. Namun, pada sisi lain puisi religi juga mengandung pesan-pesan yang sifatnya universal, yang berbicara tentang hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan alam, manusia dengan makhluk hidup lainnya, dan seterusnya. Dalam kaitan ini, sujud Arismana berusaha menuliskan tentang hubungan orang tua dengan anak. Sebagaimana yang tercantum dalam puisinya berjudul Selembut Tangan Emak:

masih saja burung punai
melaraskan segurih lagu pagi
memburai nyala api dimataku
yang ligat meluberkan
embun subuh-Mu

di kota kapur (Blora)
engkau melahirkanku
menyisakan suara anak-anak        mengaji
terhuyung langkahnya melewati
jembatan gantung yang hampir putus
(Sujud Arismana, 2013:103).

Pada puisi ini Sujud Arismana berbicara dengan gamblang tentang hubungan anak dengan Ibu. Dimana di dalamnya mendedahkan lebih jauh tentang harapan seorang anak untuk membahagiakan Ibu yang ia kasihi. Puisi ini tentu saja mengingatkan kita agar selalu menjaga hubungan baik dengan orang tua. Relasi yang baik antara anak dengan Ibu yang dibicarakan dalam puisi ini merupakan sebuah hubungan yang begitu dekat dengan kehidupan keseharian kita. Hal ini dapat dimaklumi karena karya sastra pada dasarnya tidak hanya sekadar dunia rekaan pengarangnya, dan tidak semata-mata hanya kumpulan peristiwa imajinatif.

Karya sastra kerap hadir sebagai cermin dari realitas sosial. Dimana di dalamnya terdapat kegelisahan pengarang terhadap permasalahan yang ada, yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat. Dengan kata lain sastra kerap lahir dari berbagai hal yang melingkari pengarangnya. Paling tidak, pada diri sastrawan yang juga tidak terlepas dari latar belakang masyarakat yang telah melahirkan dan membesarkannya. Agaknya, berangkat dari hal inilah kita bisa melihat bagaimana Sujud Arismana mendedahkan sebuah permasalahan sosial masyarakat yang terdapat disekitar tempat tinggalnya. Seperti pada salah satu puisi dalam buku ini berjudul Perambah Hutan. Berikut petikan lariknya:

…Apakah ada pesta/ ceria? Merebah sebatang untuk dihijaukan kembali/sekiranya tak senonoh memperlakukan perdu-perdu/yang menjalarkan asap dan kabut di negeri bertuahku./Kecemasan beralih maut yang sengaja mengejek raung/regang si macan Sumatera, membakar kera Kalimantan,/membinasakan gajah tangguhku. Mengapa harus/mengombang-ambingkan ketuban yang pernah/terjatuh di lubang gundukan pertiwiku/ (Sujud Arismana, 2013:120).

Puisi Perambah Hutan ini barangkali merupakan sebuah representasi dari kerisauan masyarakat kita hari ini terkait banyaknya kasus illegal logging, yang menyebabkan keberadaan hutan dan rimba beserta penghuninya kian hari kian memprihatinkan. Meskipun sebuah puisi tidak serta-merta akan mengatasi beragam permasalahan masyarakat, namun jika kita telisik, puisi ini secara lebih jauh berusaha menyampaikan sebuah amanat akan pentingnya kelestarian hutan. Habitat berbagai makhluk hidup.

Menurut Sitor Sitomorang (1984:3), puisi lahir atau tumbuh dari iklim tertentu, situasi dan kondisi budaya. Si penulis puisi berfungsi sebagai tukang cerap dan tukang olah apa  yang diperoleh dari iklim itu.  Mencerap segala rupa dan jenis kesan sesuai kepekaan budaya manusia. Menilik domisili Sujud Arismana di lembar penutup buku ini yang menetap di kota bertuah, Pekanbaru, sebuah tempat yang didominasi oleh etnis Melayu, maka tak mengherankan jika dalam beberapa puisinya yang termaktub dalam buku ini Sujud Arismana ciptakan sejumlah puisi yang bukan dari sesuatu yang tidak ada. Tetapi berangkat dari sesuatu yang benar-benar ada dan dekat dengannya. Selain tentang kerisauannya pada kasus illegal logging sebagaimana yang ia paparkan dalam puisi Perambah Hutan, ia juga berkelesah tentang kerisauannya terhadap generasi Melayu hari ini. Hal ini terlihat seperti pada larik pada puisi yang berjudul Selamba Tingkah. Berikut petikannya:

Kata sejarah negerimu berbudaya, bermarwah juga/bertuah. Mungkin terlalu melambungkan masa lalu yang/abadi, tak menghiraukan segala yang telah tertidur dan/terbelit dalam mimpi-mimpi semalam/ (Sujud Arismana, 2013:124).

Dalam puisi ini kita melihat, katakanlah, sebuah cerita tentang kejayaan sebuah puak bernama Melayu di masa lalu. Tentang sebuah romantisme keberhasilan di masa silam. Agaknya, berangkat dari cerita masa lalu itu Sujud Arismana mengajak generasi hari ini—khususnya yang lahir dari etnik Melayu, untuk membandingkan masa lalu dengan kondisi saat ini. Saya pikir, hal ini menarik untuk kita renungkan!

Sajak - Sajak

Kutu, Daging, dan Darahmu

si, pada rambutmu kutu bersekutu, antara memilih daging
atau darahmu, dia memilih keduanya, dia gigit dagingmu,
dia hisap darahmu, serupa dihisapnya cekung matamu
oleh waktu karangsadah ini.

kau garut kepalamu yang gatal, rambutmu putus-putus
di ujung jemari tangan yang bau kentang busuk yang tak laku
di jual di pasar muaro paneh. kutu menyelinap ke rambutmu
yang paling rimbun.

kau memang memiliki jemari yang pandai memilah,
serupa memilah mana kentang busuk dan mana kentang layu,
kau pilah antara kutu dan rambut rimbun itu, kau pilah
hidupmu, sama-sama terhempas keduanya.

di ujung kuku kau bunuh kutu sehabis kau luruhkan dari kepala,
darah berceceran di punggung kuku, kau telah sukses
jadi pembunuh alim, seperti membunuh cita-citamu sehabis uang
penjualan kentang itu kau bayarkan buat hutang racun
dan pupuk di kedai ali jijin.

(2013)



Daun Pisang dan Tusuk Sate

dicabut diriku dari si batang pisang yang membunuh
dirinya untuk melahirkan anak. aku daun yang disayat
tajam mata pisau. padaku potongan menjadi mata uang
si tukang sate piaman itu.

kau si belahan bambu, juga dibuat dari rautan si mata pisau.
tubuhmu luka tanpa darah, sebab ngilu bersembunyi
dalam tubuh. dari ujung ke ujung dibuat untuk membunuh.
yang kau bunuh kulit daunku.

pada piring plastik sate itu kita bertemu, masing-masing
membawa air mata. kulitku kau kupasi. kau tusuk perut
dan jantungku. padaku luka juga tak berdarah, ngilu masuk
ke tubuh. aku terkapar kau terkapar.

dan di kotak sampah itu kau dan kau dibuang si tukang sate.
“sudah tak berguna,” katanya. kau tahu itu.

(2013)



Tamu yang Datang Sehabis Subuh

kau datang kepadaku membawa bunga markisa, katamu itu bunga
dari karangsadah, dipetik dari hutan tanahkuning, tepat di hari jumat.
kau letakkan di atas meja kayu, biarkan dia tumbuh di kayu ini,
berakar ke atas marmer, menjalar ke dinding batu, berbuah di gipsum.

katamu kau datang dari sebongkah tanah karangsadah, tumbuh
di bawah lantai rumah, tepat di subuh hari, tapi katamu juga tepat
saat azan magrib pertama. apakah subuh dan senja dua wajah
yang berkerinduan sebab pertemuan suatu hal mustahil.

kau tanam bunga di atas meja, kau letakkan dalam pot kaca,
kau siram, kau hidupkan air conditioner, biar dingin ruangan ini,
biar semerbak harum markisa ini. satu air matamu jatuh, kau
teteskan dalam pot kaca, air matamu itu jatuh ke urat markisa.

tanpa kuminta kau memilih memegang gagang pintu, menutupnya,
menguncinya dari luar, kau kurung aku di dalam. katamu samar
dari balik kayu pintu yang tak berakar dan tak berdaun itu,
“tanam markisa itu di dagingmu.”

(2013)



Sungai Durian

:untuk dusun yang ditinggalkan namanya, kenang-
kenanglah puisi ini.

aku pecahan yang dipisahkan dari kaca jendela, gelas, piring,
mangkuk. kutampung rasa sakit pada setiap derai itu, luka
terkuak, perawanku terkuak, sakit berjalin ke jantung ini.

kau jalinan pasir dan batu, berpilin tanah liat padamu, siapa
mulai memperkosa tubuh masing-masing, siapa mulai menjadi
si angkuh mengkebiri keberadaan masing-masing.
padaku jua saksi itu.

aku ditancap padamu, separuh tubuh pada gelap ruang,
separuh tubuhku pada langit kebebasan, tetapi tetap jua
bebas tak sudah, gelap tak lengkap. biarlah jelas wujud ini,
di sekeliling kita orang kakinya ditumbuhi besi,
usia mengerucut ke pangkal besi itu.

(2013)



Karangsadah dan Kota

di batu karangsadah ini, aku bangun sebuah kota, aku dirikan
gedung, sekolah, kampus, masjid, pura, gereja, temple, lapangan
olahraga, galeri, pustaka, museum. luasnya tak lebih sebentangan
telapak tangan, sempitnya tak kurang segala yang di luar
telapak tangan.

di koridor sebuah rumah di pusat kota, di bibir kanan jendela,
menghadap ke matahari tenggelam, aku tumbuhkan setangkai
bunga markisa dalam pot kaca, berbuah manis pada tiap tampuknya.

di titik kelopak sari, aku terbangkan ribuan kumbang, seekor
kumbang berwarna putih sekaligus jugah hitam, menghisap
nektar sampai ke pangkal, di nektar itu aku titipkan rasa sakit
palu, paku, pahat, membangun kota ini, membangun dirimu
sayang. semoga kau ingat itu.

(2013)



Salung Api

ditiup api itu terbakar tubuhku,
panas padaku, luka pada bara,
adakah yang lebih menyakitkan
daripada membakar tubuh sendiri.

aku si badan buluh dipakai dan dikebiri
di ruang tungku, bara pada ujungku,
merah dan gosong,
hangus ujungku.

ditiup api itu, mengumbar, merah saga,
habis lumat tubuhku,
mengamuk si buta peniup salung api,
habis sudah jadi abu tubuhku.

(2012)



Sepelah dan Paraku

kau tahu aku si pelari di sekeliling kilangan tebu, memanjat punggung
sapi, mengeliling lingkaran kecil itu, seperti lingkaran hidupku.
aku berputar sangat lambat, tapi detik berputar begitu cepat. tebu
telah menjadi sepelah, tinggal dibuang dalam api di ruang tungku,
dan air tebu tertampung di paraku, lubang kecil yang mengurung
sorot matamu.

kau si pendiam, aku sangat suka dengan lugumu, dan lagumu
tentang acuan betung dan lingkaran yang menampung dirimu itu,
seolah-olah hanya aku dan kau yang suka bermain di lingkaran kecil itu.
kita tanam gula yang tumbuhkan rasa haus tak terbantahkan,
tentang gula kecil yang kita sediakan, buru-buru kita habiskan
sambil berjuntai di kilangan.

tiba-tiba putaran kini sebaliknya, putaran kilangan itu begitu cepat,
tapi detik berputar begitu lambat untuk sampai di punggung sapi,
di punggung sapi aku bertanya kepadamu, kenapa sepelah dibuang?
tapi kau menjawab, air tebu juga dibuang dari paraku
yang menampungnya.

(2012)



Darah Nyamuk di Jari Manis

seekor nyamuk yang menggigit jari manismu,
telah usai kau bunuh. bekas darahnya kental di antara
batu cincin biduri bulan dan garis telapak tanganmu,
tempat nasib bernaung yang kau keragukan.
lampu teplok di atas meja setiap sebentar ditiup angin
dari lubang dinding, mungkin angin di luar sana
di ladang kentang jauh lebih gigil.

kau berdehem dan berujar, bibir bergerak mantap,
“ini komedi putar yang amat menarik,
nenek kita petani, ibu kita petani, kita petani, hidup
segitu-gitu saja.” tentu saja kau tidak membicarakan
nasib bangkai nyamuk yang baru saja kau buang
ke dalam api. aku pun tidak ingin peduli dengan bau hangus
yang bodoh itu.

“gubahanmu gubahan lagu lama yang tak perlu
kau ulang kepadaku, kita harus melihat dari ujung
mungkin jalan yang belum bertemu pangkalnya.”

bangkai nyamuk itu telah habis, dan batu cincinmu
telah berdarah di lingkaran daging, angin dari luar
masuk ke tulang, mungkin benar katamu,
hidup segitu-gitu saja, tapi aku tidak percaya
jalan dari ujung hidupku tidak berujung.

(2013)



Sehelai Benang Penjahit


apa pendapatmu tentang tubuhku yang sehelai,
tentang hasil karya yang dibentuk dari luka,
dimakan mata penjahit untuk menanggung duka
di tepi celanamu yang robek,
masuk lubang sempit keluar lubang sempit,
tubuhku yang membetulkan serabutan benang
celana tak terurus itu, tubuhku pula mengizinkan
dagingmu menodai benang celana.

ya, aku si pengembara dari kisah ke kisah
lubang mata penjahit, segala duka benang celana
telah aku saksikan pada tubuhku,
dari celah ke celah hanya rasa sakit.

(rumahkayu, 2013)

Ternyata, Ini yang Diinginkan Wanita di Ranjang



SELAMA bertahun-tahun, bisa saja istri Anda hanya berpura-pura merasakan klimaks, padahal kepuasaan seksualnya belum terpenuhi.

Wanita memang sulit ditebak, termasuk hasrat bercintanya di atas ranjang. Berbeda gender, berbeda pula seksualitas yang dimiliki pria dan wanita. Lantas bagaimana cara membuat kaum hawa menikmati hubungan intim? Berikut ini tips-tipsnya, dilansir dari Ask Men:

Bermain Pria kerap lupa menjadikan kegiatan bercinta sebagai hal menyenangkan akibat terlalu fokus pada klimaks pribadi. Padahal wanita butuh waktu bermain alias foreplay yang cukup lama. Untuk itu, tidak ada salahnya Anda mengeksplorasi “tombol” yang tepat di tubuh pasangan lewat cara-cara menyenangkan. 

Santai Beraksi cepat memang bisa jadi hal yang menantang, tapi wanita akan bisa merasakan klimaks yang lebih memuaskan saat bercintadengan rileks dan santai. Jika sedang dalam keadaan takut, cemas dan emosi, proses orgasme wanita akan semakin melambat.

Fantasi Siapa bilang wanita tidak punya fantasi seksual? Ajak mereka berdiskusi tentang fantasi seksual yang ingin mereka alami, lalu masuklah ke dalam peran yang mereka inginkan. Bukan tidak mungkin kehidupan cinta Anda semakin bergairah.

Jujur Katakan juga pada pasangan apa yang Anda inginkan dari mereka di atas ranjang. Kejujuran bisa jadi gerbang pembuka untuk kehidupan seksual yang lebih fantastis. 

Alternatif Jangan hanya terpaku pada cara-cara konvensional. Jangan pula malu mencari referensi. Ajak pasangan untuk bersama-sama mencari referensi kegiatan bercinta yang bisa meningkatkan gairah. Menggunakan alat bantu seks bisa jadi salah satu cara. 

Kata cinta dan pelukan Dibanding kegiatan seksual itu sendiri, wanita justru merasa lebih bergairah dan punya respon lebih baik terhadap kata-kata cinta dan pelukan hangat. Karena itu, jangan lupa memeluknya usai bercinta. Katakan juga bahwa dia wanita tercantik di mata Anda

Riau Harus Mendapatkan Otonomi Khusus, Bukan Otonomi 'Setengah Hati'



Provinsi Riau memiliki kekayaan alam yang tak terhingga, baik yang dapat diperbarui maupun yang tidak. Namun sayang, hingga saat ini pengelolaannya belum berjalan secara maksimal.

Hal itu disampaikan Ton Abdillah Has, Calon Legislatif Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Dapil II, Sabtu (29/3/2014).

"Riau ini negeri yang sangat kaya, kaya dengan gas alam dan minyak bumi. Begitu juga halnya dengan hasil alam di sektor perkebunan," ujar Caleg nomor urut 5 yang diusung Partai Golkar ini.

Dengan kekayaan tersebut, ternyata tidak sepenuhnya dapat dinikmati masyarakat Riau. Hal itu terbukti, masih banyaknya tingkat ekonomi masyarakat di bawah garis kemiskinan.

Untuk mengatasi persoalan ini, kata Ton, perlu kerjasama antara Pemerintah Riau dan wakil Rakyat di senanyan. Sehingga, kesenjangan perekonomian tidak terjadi lagi.

Menurut Ton, selama ini pengolahan hasil alam yang ada di Riau hanya sebatas bahan setengah jadi. Belum pernah ada pabrik yang memproduksi bahan jadi. Contohnya, pabrik Kelapa Sawit hanya sebatas CPO. CPO tersebut dikirim ke berbagai pabrik di luar Riau. "Coba, pabrik minyak goreng ada di Riau, pasti akan menyerap tenaga kerja," ujar Pemuda yang lahir di Kuantan Singingi ini.

Selain Kelapa Sawit, nasib hasil perkebunan lain seperti Kelapa di Indragiri Hilir juga mengalami nasib yang sama. Padahal, kopra yang dihasilkan sangat banyak. Namun sayang, nilai jual tidak mampu mengangkat perekonomian masyarakat.

"Masalah seperti ini perlu dipikirkan dan diperjuangkan," ujar Pria 34 tahun ini.

Sementara itu, Ton juga menyinggung Dana Bagi Hasil (DBH) Migas. Menurutnya, perlu perimbangan yang realistis antara pusat dan Riau. Jika dana tersebut digunakan secara maksimal, tentu akan berdampak pada kemajuan Riau.

"Perjuangan DBH Migas harus selalu dilakukan, sampai masyarakat Riau benar-benar menikmatinya," kata Ton. Salah satu tolak ukur masyarakat Riau menikmati hasil alam, lanjut Ton, dapat dilihat dari pembangunan yang merata.

Dari sekarang, Riau harus menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Dimana, harus jelas batas-batas kewenangan pusat dan daerah. Sehingga, otonomi daerah harus berjalan dengan semestinya. "Tidak ada istilah otonomi setengah hati seperti saat ini," ujar Ton.

"Jika terpilih nanti, tugas utama kami di senanyan adalah untuk memperjuangkan Riau sebagai otonomi khusus," tegas Ton. Ia menilai, dengan seluruh potensi SDA, SDM dan budaya yang ada, Riau berhak mendapatkan otonomi khusus

Dahsyat! Ayat-ayat Al-Qur'an Sebagai Roh dalam Perkembangan Sains dan Teknologi



ANNUAL INTERNATIONAL CONFERENCE ON ISLAMIC STUDIES (AICIS) atau Konferensi Internasional Kajian Islam ke-XIII dengan tema "Distinctive paradigm of Indonesian Islamic Studies towards Renaissance of Islamic Civilization". Kegiatan ini diselenggarakan di hotel Sentosa Lombok Mataram, dari tanggal 18- 21 Nopember 2013 lalu.

AICIS merupakan kegiatan tahunan yang awalnya merupakan pertemuan pimpinan dan kegiatan ilmiah pascasarjana dilingkungan Kementerian agama pada tahun 2001, dan seterusnya berlansung setiap tahun. Pada 2012, kegiatan diselenggarakan di UIN Surabaya dan tahun sebelumnya diselenggarakan IAIN Bangka Belitung. UIN Suska Riau pernah menjadi tuan rumah tahun 2007.

Tahun 2013 ini IAIN Mataram sebagai tuan rumah dan kegiatan ini dihadiri oleh 1000 peserta termasuk pembicara dari 10 negara (Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunaidarussalam, Maroko, Amerika, Filipina, England, Jerman, Australia). Peserta yang terbanyak dari Indonesia mewakili seluruh propinsi. Dimana, seluruh rektor dan utusan profesor dari IAIN, UIN, STAIN se-Indonesia.

Kegiatan ini merupakan ajang silaturahmi pimpinan perguruan tinggi Islam, dosen dan peneliti serta sharing ilmu dan hasil penelitian disegala bidang yang terkait dengan keislaman. Selain Keynote speaker, dan pemakalah undangan dari 10 negara, dosen diberi peluang untuk tampil dalam sesi parelel. Dari 900 lebih makalah yang diseleksi panitia AICIS 2013 maka dinyatakan lulus 128 makalah untuk dipresentasikan dalam kegiatan ini selain dari keynote speaker.

Dari UIN Suska Riau presenter yang lulus seleksi dan diundang mempresentasikan makalah sebanyak lima orang yaitu Prof. Dr. Muhmidayeli, M.Ag, Dr. Yasril Yazid, Dr. Raihani, M.Ed, Dr. Hairunnas Rajab, dan Amirah Diniaty, M.Pd, Kons.

Kegiatan yang dibuka oleh Menteri Agama RI Dr. H.Suryadharma Ali, M.Si. Hal menarik yang perlu menjadi catatan dari kegiatan ini adalah tema Distinctive paradigm of Indonesian Islamic Studies towards Renaissance of Islamic Civilization merupakan terobosan yang harusnya menjadi perhatian ilmuan muslim. Hal ini karena Islam di Indonesia penuh warna dan bunga. Banyak nuansa budaya yang mewarnai kegiatan keagamaan seperti, tujuh bulanan, walimah khitan, walimah, kegiatan pulang mudik yang banyak menyerap biaya.

Menurut salah satu nara sumber Prof Azzumardi Azra, masyarakat muslim Indonesia tidak mau menyelenggarakan Islam yang primitive tetapi berwarna dan fariasi. Islam itu sendiri adalah panduan dalam semua aspek kehidupan orang muslim Indonesia, 88.2 % dari 240 juta populasi muslim di dunia adalah dari Indonesia. Indonesia adalah juga Negara demokrasi yang terbesar nomor tiga setelah India dan Amerika. Dengan potensi yang dimiliki oleh muslim Indonesia tersebut, kenyataannya terkait dengan kajian KeIslaman masih banyak persepsi yang salah dan perlu diperbaiki, sehingga kehidupan muslim di Indonesia bisa menjadi lebih maju.

Salah satu persepsi yang perlu dirubah dikalangan masyarakat kita yaitu dikotomi ilmu keIslaman dan ilmu umum dalam membina cendikiawan muslim. Ada anggapan orang dianggap akan banyak mendapat pahala dan dijamin baik akhlaknya ketika ia belajar tentang agama Islam seperti Fiqih, Hadist, dan sebagainya. Sementara pelajar yang menekuni ilmu umum dianggap tidak mendapat pahala. Bahkan dianggap sekuler atau tidak berakhlak.

Miris sekali sebenarnya karena seharusnya antara ilmu keIslaman dan ilmu umum harus dapat diintegrasikan. Untuk itu, perlu ada pengkaitan antara ilmu murni dengan ayat-ayat AlQuran. Seharusnya agama dijadikan sebagai roh dalam mempelajari sain dan teknologi. Seperti mempelajari tentang atom dan antariksa, dapat dilihat dari perspektif alquran.

Dengan tema Distinctive paradigm of Indonesian Islamic Studies towards Renaissance of Islamic Civilization diharapkan paradigma baru muncul bahwa ilmuwan Muslim Indonesia muncul memberi pencerahan dalam perkembangan kehidupan bangsa Indonesia. Diharapkan Indonesia 25 tahun kedepan dapat dijadikan sebagai labor dan kiblat studi Islam di dunia.

Untuk itu harapan besar terhadap perguruan tinggi Islam seperti UIN- STAIN harusnya memiliki nilai plus yaitu integrasi keilmuan dan keislaman yang membedakannya dengan PTN umum. Perguruan tinggi agama kedepan bisa menjadi pilihan pertama bagi lulusan sekolah menengah untuk melanjutkan studinya.

Mencapai hal ini kerja keras seluruh civitas akademika di Perguruan Tinggi Agama Islam ditantang mewujudkan lembaganya sebagai world class university. Perguruan tinggi Islam harus mampu mempromosikan tentang lembaganya ke luar negeri sehingga mahasiswanya bukan hanya dari domistik tetapi juga dari luar negeri. PTAIN ditantang untuk berani unjuk gigi, jemput bola dan publish kemana saja untuk dapat dikenal oleh masyarat baik dalam dan luar negeri.

Terkait dengan itu UIN Suska Riau dalam hal ini sesuai dengan visi-misinya juga berbenah dan mempersiapkan diri menjadi world class university ditahun 2025. Kegiatan AICIS di Mataram selama tiga hari ditutup oleh Wakil Menteri Agama Republik Indonesia pada hari malam Rabu 20 November 2013. Beliau berharap muncul cendikiawan muslim yang terus menggali ilmu dunia dan agama demi kemaslahatan hidup didunia dan akhirat.

Menarik dalam acara penutupan, acara mendatangkan tokoh Imam Besar Mesjid di New York Amerika yaitu Ustad Salman Ali. Menurutnya ada tantangan yang harus dijawab oleh umat muslim agar dapat mengembalikan kejayaan Islam yaitu globalisasi dimana semua serba cepat tanpa ada jarak dan waktu yang memisahkan, dan perlunya tim work atau kerjasama. Kejayaan Islam tidak akan diperoleh ketika umat muslim merasa eksklusif tidak mau berbaur, tidak mau belajar teknologi dan tidak mau bekerjasama dengan umat lain. Hal ini perlu menjadi renungan dan catatan bagi kita bersama

Kehilangan



Pelita mulai meredup
Hampir Gelap ....
Tapi kau terus berlalu
Aku tertatih mengikuti langkahmu
Melewati setapak tadas
Menyusup tak terarah
Hingga akhirnya sosokmu hilang
Aku linglung..
Tempat ini sepi
Hanya ada aku dan bayanganku
Sangat hening....
Dan aku semakin takut
Aku terbelalak
Ada namamu disana

Aku??

Aku terlahir dari untaian air mata
Seperti mendung yang mendatangkan hujan
Aku juga tercipta tetapi tak beraga
Seperti udara yang tak dapat kau lihat
Ketahuilah, aku bergerak tiada batas
Mengiringimu dalam setiap langkah
Melalui sentilan doa disetiap lafaz

Karna ALLAH

Rentangan waktu kian berevolusi
Dentingan jam terus bergulir
Memasuki sebuah era baru
Dan meninggalkan masa lalu
Bercengkrama pada realita
Untuk menentukan arah kehidupan
Sedari jiwa masih ber-TUHAN
Maka hidupmu di tangan-NYA
Lalu kedamaian akan ada bersamamu
Berkat kasih dan ridho-NYA

Powered By Blogger