Rabu, 02 April 2014

Cerita Pendek - Rahasia Mantra Ular

Tidak lagi dinamai rahasia kalau terang-terangan diceritakan. Apalagi dibuat cerita lantas dimuat di koran. Rahasia terrahasia, mengapa aku selalu bejo. Aku bosan menerima keberuntungan. Aku mau menjadi manusia seutuhnya, yang tidak terus-terusan beruntung. Sekali-kali sial.

Seperti kebanyakan manusia, aku lahir tak bisa memilih dari rahim siapa. Keberuntungan pertama aku dilahirkan miskin.

Keluarga miskin-kin, melarat-rat. Tidak bapak, tidak ibu, sama-sama orang miskin pemalas. Merasa cukup kalau masih ada beras di karung. Tidak pernah menabung. Tidak berpikir punya rumah bagus. Falsafah ‘’mangan ora mangan sing penting kumpul’’ begitu kuat mengakar di benak mereka. Berkumpul tanpa penyumpal mulut yang terus membicarakan macam-macam.

Aku dibiasakan untuk tidak repot dalam urusan makan. Tidak memiliki pantangan, semua doyan. Tidak alergi makanan. Frekuensi lapar jauh lebih sering ketimbang kenyang. Setiap ada peristiwa yang menyajikan makanan gratis, mantenan, khitanan, sedekah bumi, atau kenduri rumah baru, aku mengubah mulutku menjadi karung, perutku menjadi laut.

Aku tidak memiliki referensi hiburan sebanyak anak-anak yang bisa bermain truk-trukan, pistol-pistolan, atau adu bekel dan gundu. Aku leles, menunggu giliran gratis. Sedang bapak dan ibu memiliki hiburan sendiri setiap malam ketika hampir semua anak terlelap. Bersuara aneh, namun nampak asyik. Ibu sering hamil. Aku memiliki banyak adik. Namun hanya ada tiga yang serumah, sisanya sudah ke mana aku tidak lagi hapal.

Area bermain paling menarik selanjutnya adalah area depan rumah Mbah Mardam. Biasanya Mbah Mardam menjemur gabah, jagung, kedelai, atau kacang dengan alas layar warna biru gelap. Ketika longgar kami biasa bermain gobaksodor, engklek, atau petakumpet.

Pohon-pohon menjadi tempat aman bersembunyi. Pelem lalijiwo, pelem golek, nangka, rambutan, dan gerumbul bambu kuning. Tubuhku kering, jadi bisa bersembunyi di sela-sela beberapa pohon kelapa belum bermanggar. Atau mudah memanjat pohon nangka. Aku sering mencuri buah Mbah Mardam ketika bermusim. Kuamati mangga mana yang nampak siap makan. Menjelang gelap, aku menepi mendekati pohon. Secepat kilat memanjat, dan mengambil beberapa. Anak-anak memang diperkenankan mencuri. Kupastikan di seluruh dunia, di manapun juga, anak-anak pasti pernah mencuri. Meskipun sekali sepanjang kanak-kanak.

Mbah Mardam memiliki persyaratan untuk menghukumku, tetapi tak pernah hal itu diusiknya. Untuk marah, Mbah Mardam tak perlu membentak. Wajah Mbah Mardam sudah seram. Alisnya tebal, matanya cekung ke dalam, hidungnya mirip jambu monyet, kulitnya legam. Melotot tanpa bersuara sudah membuat anak-anak kepoyoh, terkencing-kencing.

Ada hari-hari kami dilarang bermain di halaman Mbah Mardam. Di hari-hari tertentu itu, halaman rumah menjadi parkir macam-macam kendaraan. Motor, mobil besar tak biasa kupandang. Sesak hingga luber di pinggir jalan. Mbah Mardam orang pintar. Bisa menyembuhkan penyakit, bisa memberi jalan keluar, dan konon bisa membuat orang miskin menjadi kaya. (Tetapi jangan tanya mengapa Mbah Mardam tidak membuat kaya para tetangga. Pun rumahnya sendiri yang sampai cerita ini dibuat masih reot dan doyong).

Aku menyaksikan sendiri Mbah Mardam mengeluarkan jurus ampuh ketika Bendel pulang dari tegalan tertempel makhluk halus yang mbaurekso. Meski tidak pernah melihat, kami percaya ada wewegombel, genderuwo, memedi, sundelbolong yang kerap mengganggu.

Bendel meracau dengan bahasa aneh, serak diiringi alunan napas berat. Dia berguling-guling. Mulutnya menganga. Dadanya turun-naik seperti tergagap mencari udara. Sekaligus ingin melegakan sesuatu besar yang menyumpal tenggorokan. Lidahnya terjulur. Dia dibawa ke Mbah Mardam.

‘’Eyang siapa? Purun ngapunten anak-cucu saya. Bendel anak baik,’’ Mbah Mardam memeragakan ritual.

‘’Aku Ki Ageng Lindu. Bocah ini menendang anakku.’’ Bendel terus melet, lidahnya terjulur seperti asu dan liurnya membasahi baju dan tanah.

‘’Mohon diampuni Bendel, Eyang. Bendel kaluputan.’’

Mbah Mardam mengeluarkan segenggam beras dicampur garam, sambil mengumik-umikkan mantra aneh. Mbah Mardam lantas menyembur Bendel. Bendel menjerit sekencang-kencangnya. Lantas Bendel memuntahkan air pekat warna hitam. Bendel lemas. Dan kembali sadar.

Mbah Mardam pandai mengobati kesurupan. Juga penyakit-penyakit yang tidak bisa diobati dengan sekadar obat bidan atau puskesmas. Lelaki tua terus mengeluhkan kepalanya seperti ditinju ratusan orang. Disuwuk Mbah Mardam, disembur dengan beras dan garam, lalu muncul beberapa ekor kelabang. Wanita perut besar, bidan bilang kanker, dibawa ke Mbah Mardam, dielus sambil dimantrai lalu disembur dengan beras dan garam, lalu esoknya dia mengeluarkan dua buah silet, gotri lima biji, lima batang ruji sepeda saat di kakus.

‘’Mbah Mardam hebat,’’ aku memuji sambil memunguti buah talok merah.

‘’Mbah Mardam punya mantra ular,’’ lawanku bicara menimpali.

Demi menjaga kemanjuran mantra ular, Mbah Mardam memelihara laku khusus yang hanya dia yang tahu. Tentu andai semua tahu, mantra ular itu tidak akan lagi laku. Sembunyi-sembunyi. Apa saja syarat dan cara mendapatkan mantra ular itu rahasia terbesar milik Mbah Mardam.

Sore itu, mungkin sudah menjadi takdirku, kumasuk ke rumah Mbah Mardam. Mbah Suketi, istri Mbah Mardam, memintaku mengambilkan tampah untuk membersihkan kedelai kering. Setelah kuingat-ingat hari itu Anggara Kasih, selasa kliwon. Rumah Mbah Mardam hanya ada tiga kamar. Sentong kiwa, sentong tengah, dan sentong tengen. Berjajar beururan. Sentong tengen kamar Mbah Mardam dan Mbah Suketi tidur. Di Sentong tengah ada gledeg dari papan tebal, lumbung tempat simpanan gabah kering.

Sentong kiwa, kamar rahasia selalu terkunci. Konon di sini Mbah Mardam berkomunikasi dengan sesembahannya. Dapur tempat tampah ada di belakang sentong kiwa, saat melewatinya aku mencium aroma kembang dan menyan menyengat. Tiba-tiba punggungku dingin dan bangun.

Saat tampah kudapatkan, kuberanikan mengintip apa isi sentong kiwa. Dari papan kayu yang berlubang, nampak Mbak Mardam sedang dililit ular warna hijau kemerahan. Sepahaku. Ular itu menjulur-julurkan lidah. Aku merinding. Lantas lari terbirit-birit.

Untung pekerjaan itu mendapatkan upah makan siang. Dan Mbah Mardam sepertinya sudah selesai dengan laku khusus. Dia sudah memilin tembakau dan merokok. Aku diajak Mbah Suketi masuk ke meja makan.

Aku dipersilakan mengambil makan. Nasi beras gogo, sayur rebung, dan ikan asin. Karena besarnya rasa lapar, aku membuka tudung saji di meja kecil di pojokan yang diberi sentir kecil. Liurku menetes. Nasi putih pulen, paha ayam, telur rebus, dan apem. Mumpung Mbah Suketi sedang berberes di belakang, lekas kumakan dan kuhabiskan. Enak. Kenyang. Aku tanduk, nambah dengan menu awal.

Konon keberuntunganku bermula dari sini.

Dua hari kemudian Mbah Mardam meninggal tanpa sebab pasti. Kabar yang tersiar bahwa sajen untuk sesembahannya kurang pepeg, kurang lengkap. Sesembahannya marah dan mencabut semua kesaktian Mbah Mardam. Aku tidak berani mengatakan kepada siapa saja, bahwa kemungkinan besar menu istimewa yang kumakan itu adalah sesajen untuk sesembahan Mbah Mardam. Kuyakini hidup dan mati seseorang, sudah diatur Gusti Pangeran.

Tanpa perlu memuja mantra ular milik Mbah Mardam, berpindah sebagai piaraanku. Hingga aku merasa beruntung saja dalam hidupku. Beruntung setelah besar aku mendapat pekerjaan sebagai tukang batu. Dan untungnya anak gadis bos yang montok, bohai, dan pantatnya bikin jakun naik turun ingin kunikahi. Aku menjadi orang kaya. Bisa makan enak. Bisa merasakan keenakan dari mantra ular, tanpa harus memiliki laku khusus seperti Mbah Mardam.

Tidak lagi dinamai rahasia kalau terang-terangan diceritakan. Tetapi kuceritakan dan kukirim ke koran, agar dewan pembaca budiman meniru caraku mendapat keberuntungan. Mereka yang lahir dengan keberutungan macam aku, tentu membutuhkan. Mantra ular! Mantra buaya! Mantra kadal, dan mantra lainnya. Bumi gonjang-ganjing, langit megap-megap!***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger